b9XScSiP5uprs4OZDaq3ViZP3v7bKOTFGF0XWHYM
Bookmark

Hari Terakhir Berduka



Memang benar apa yang dikatakan Evania. Evaniaku yang kini telah merintis deritanya dalam kesepian di negeri batas.
"Carilah seseorang untuk kau rindukan, aku tak mungkin terus ada di sisimu. Rindumu hanya akan membebani langkahku untuk terus berjalan, menyusur hari-hariku." katamu. Aku tertunduk. Bukan pertama kali kau meminta aku melakukan ini. Dan ini bukan hanya tentang aku yang terus merindukanmu, tapi juga masa depan yang telah kau bingkai seindah pelangi di sana. Di tempat segala duka kau kubur dan tak seorang pun mengetahuinya. Kecuali aku.
"Tidak, biarkan aku terus memujamu dengan caraku, dalam kesepianku. Sekian lama aku telah menikmati semua pahit ini, dan aku akan terus menikmatinya, sampai kutemukan cara lain untuk mencintaimu. Jika rinduku menjadi beban bagimu, anggap saja kita tak pernah bersama. Bukankah sekian lama, bagimu aku adalah kesepian."
"Tapi kau akan terus tersiksa dengan perasaanmu, dan aku tak mungkin menutup mata dengan semua hal tentang dirimu, terlebih cinta yang kau diamkan dalam kesepianmu. Buka hatimu, ada orang lain yang bisa mencintaimu lebih baik dari aku. Kita tak mungkin bersama lagi. Kau harus mengerti keadaanku.”
Evania, gadis ini kembali memohon padaku setelah dua tahun yang hilang kembali mempertemukan kami. Dua tahun yang hilang, dan hingga saat ini belum ada yang mampu meluruhkan seluruh perasaan kami. Rindu memuncak di tiap hari yang terlewat. Cinta masih berdetak sama layaknya dulu. Tapi pertemuan kali ini hanya untuk mempertegas masa silam kami akan kebersamaan yang tak mungkin lagi. Kebersamaan yang harus rela dipisahkan oleh pikiran kolot zaman Siti Nurbaya.
Aku menatapnya sambil memegang tangan yang semakin kurus itu. Mata itu, yang pernah melepaskan segala kesedihanku, kini tak mampu menyembunyikan duka meski bibirnya berusaha menutup itu dengan senyumnya yang meluruhkan kesepianku selama ini.
“Dua tahun lebih aku bersembunyi. Dua tahun pula aku menyimpan semua kepinganku sambil berusaha menyusunnya kembali seperti sediakala agar kelak aku mampu bangkit dan tak seorang pun yang tahu bahwa aku pernah hancur. Kau tahu, itu tak pernah mudah bagiku. Ini jalan terberat yang pernah kutempuh dan tak seorang pun yang datang untuk menopang aku. Kini kepingan itu nyaris sempurna kususun. Aku siap untuk bangkit, tapi aku ingin kau ada jika saat itu tiba agar bisa kau saksikan bagaimana seorang yang pernah hancur karena mencintaimu bisa bangkit dari kehancurannya tapi tetap mengagungkanmu dalam cintanya. Aku tak mungkin bangkit tanpamu. Kepingan ini harus ditopang ketika akan berdiri agar tak jatuh dan hancur lagi untuk kesekian kali. Dan kamu, hanya kamu yang bisa menopangnya.
“Tidak! Bukan aku. Kamu bisa bangkit bahkan berlari tanpa aku. Kehadiranku hanya akan membuatmu melangkah dalam bayang-bayangku yang tak mungkin lagi meneduhimu. Kamu harus bisa sendiri. Yang kamu butuhkan kini hanya satu keyakinan, bahwa akan ada orang lain yang mampu membuatmu jauh lebih baik. Bukan aku. Buka matamu. Dunia ini sangat luas dan aku bukan satu-satunya perempuan yang tinggal di dalamnya.”
Matanya beralih ke pintu yang setengah tertutup dengan pandangan kosong, menerawangi gersangnya rumpun pisang yang nyaris kering terbakar terik. Aku berharap ia dapat merenungi hidupku dari rumpun pisang itu. Hidup yang nyaris kering. Untuk terus hidup, harus ada yang menyiramnya dengan cinta dan perhatian yang tulus.
***
Memang benar apa yang dikatakan Evania. Evaniaku yang kini telah merintis deritanya dalam kesepian di negeri batas. Kesepian yang sengaja ia ciptakan untuk untuk menghalau lebih banyak duka berkecamuk dalam dadanya yang telah penuh dengan goresan luka masa lalu. Aku mengaguminya. Ketegaran Evania untuk terus bertahan menghadapi kehidupan yang bukan mimpinya. Dan bukan mimpi semua perempuan, tentu saja. Mimpi-mimpi yang ia ciptakan semenjak gadis harus ia buyarkan kala ia harus menikah dengan seorang lelaki yang tidak lebih dari pecundang. Lelaki yang tak pernah peduli apa yang dimakan seorang Evania dan anaknya. Lelaki yang menggunakan bajunya sirahnya agar selalu terlihat bijaksana dan berwibawa.
Di negeri barunya, Evania harus menciptakan juga mimpi-mimpi baru untuk hidupnya dan membangun semua itu dalam waktu satu malam. Bagaimana tidak, ia seperti memasuki belantara yang sangat kelam dan asing. Ia harus bergulat antara rasa takut oleh kekelaman itu atau mencari jalan agar mampu beradaptasi. Bertahan dengan rasa takut hanya akan membuat ia dikuasai oleh ketakutan itu sendiri dan kekelaman akan semakin menjerumuskan ia ke dalam ngarai yang kian dalam. Evania sungguh perempuan tangguh. Ia berhasil melawan arus, membalik ketakutan dan menerangi kekelaman jalannya, dan pada akhirnya dialah yang memegang pelita dikendalinya dalam hitungan waktu yang singkat.
Namun, sehebat-hebatnya seseorang dikehidupannya, toh ia memiliki rasa rindu untuk menggenggam kembali mimpi-mimpinya di masa silam. Inilah yang tak mampu ia kendalikan. Prahara rumah tangganya dari hari ke hari kian menjadi ruwet. Rasa cinta kian hari hanya sebuah kata untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan formal. Nyaris tak lagi bergetar.
Aku memahami semua yang terjadi pada Evaniaku akhir-akhir ini. Ia bangun mimpi tapi harus kandas oleh ego seorang bajingan. Dan bajingan itu juga yang memporak-porandakan ruang hati yang kusiapkan khusus untuk Evania tapi tiba-tiba hancur oleh undangan pernikahan yang sampai ke rumahku. Berhari-hari aku kehilangan selera makan, hanya tidur dan meratapi nasib hingga akhirnya aku merasa sadar, bahwa mungkin inilah jalan Tuhan untuk memberi kebahagiaan bagi Evaniaku. Mungkin pernikahannya akan mampu memunahkan luka dan duka yang sebelumnya sering digoreskan dengan sempurna oleh sekian jumlah lelaki dalam hatinya. Aku mencoba iklas meski tak iklas oleh kenyataan ini. Dengan segala kekuatan, aku menggenggam tangannya, memberikan kecupan terakhir tatkala ia dipinang secara adat, lalu pergi dari kehidupannya selama berwaktu-waktu.
Aku pergi darinya untuk membuang segala perasaan tentang dia dengan susah payah. Berbulan-bulan kugembalakan kehidupan ini dalam padang kritis dukaku. Menjaga hakikat rindu sestabil mungkin agar tak terperosok ke dalam ngarai duka yang kelam. Hingga pada satu titik dan aku merasa percuma dengan perjuanganku menghalau bayang-bayangnya. Ia kurindukan kala malam dan siang, kala panas dan hujan. Pada akhirnya, ia menjadi alasan mengapa aku harus berdoa. Ia menjadi alasan aku harus menjadi kian tegar. Ia menjadi alasan bagiku untuk kembali menemukan dunia yang hilang, mencari lagi kepingan yang telah terbuang dan menyatukannya lagi.
Kami bertemu di sudut peradaban yang telah lama kutinggalkan setelah perpisahan yang sangat lama. Perjumpaan ini meninggalkan kesedihan yang teramat sangat, menambah lagi sehasta duka dalam cerita kelamku. Evania bukan lagi seperti yang kubayangkan. Sosok magis itu kian kurus tubuhnya termakan derita kesendiriannya. Pundaknya dipenuhi tanggungjawab kehidupan yang berat, melebihi apa yang mampu ia pikul.
Saat itu aku sadar, yang ia butuhkan bukan hanya doa. Tapi juga pelukan agar ia tak merasa sendiri menjalani hidupnya. Ia butuh teman berbagi duka. Teman yang mampu mengerti segala hal dalam pergumulan hidupnya. Ia butuh aku untuk mengurangi lingkar matanya yang menghitam termakan airmata. Ia butuh pundakku untuk berbagi beban hidupnya. Ia adalah cintaku. Maka kurelakan hatiku, jiwa dan ragaku untuk memberi setiap hal yang ia butuhkan untuk menemukan kembali kebahagiaan sejati yang sekian lama menghilang dari kehidupannya.
***
Aku kembali memegang tangan itu. Tangan Evaniaku yang malang, memberinya isyarat agar melihat aku yang di sisinya. Tapi Evania tetap menujukan matanya ke arah pintu dan gersang rumpun pisang di depannya. Dan aku merasakan gemuruh di dadanya, pergumulan batinnya antara menahan airmata agar tak mengalir atau membiarkan semua kesedihannya mengalir deras di hadapanku.
“Evania, kau tahu? Jiwa kembaraku mengarahkan langkah untuk kembali kepadamu. Hatiku setiap hari berseru-seru dalam dada untuk datang padamu. Bukan karena aku tak mampu menemukan perempuan lain, bukan. Bukan itu. Aku kembali, karena aku harus kembali kepadamu. Aku tidak datang untuk menawarkan kebahagiaan yang dulu pernah kusiapkan. Tidak. Aku juga tak datang untuk mengambil sisa kebahagiaanmu. Tidak. Sama sekali tidak. Aku tak datang untuk itu. Aku terlahir bukan untuk berbagi kebahagiaan denganmu tapi untuk mengambil semua duka dari hatimu menjadi milikku. Untuk memberikan pundakku agar kau bisa bersandar. Kau tahu, Evania, untuk alasan apa pun, kau tak pantas memiliki semua kepedihan ini.”
Kalimat terakhirku menyentaknya. Hentakan yang pelan tapi ternyata mampu membobol airmata yang sedari tadi ia bendung. Kubiarkan ia merebut dadaku dan jadikan tempat menangis, melepaskan semua perih yang selama ini membelenggu dan mengekang jiwanya. Kupeluk ia seerat aku memeluk dukanya. Aku tak akan melepasnya lagi untuk pergi menderita di sana. Sendiri.
“Menangislah sayang, sepuasmu. Karena ini adalah hari terakhir kau berduka.”



 Source
Posting Komentar

Posting Komentar