b9XScSiP5uprs4OZDaq3ViZP3v7bKOTFGF0XWHYM
Bookmark

Remaja dan 'Curhatan' di Media Sosial

Remaja dan 'Curhatan' di Media Sosial


Remaja dan 'Curhatan' di Media Sosial
Remaja dan 'Curhatan' di Media Sosial



Curahan hati seorang remaja dalam bentuk video yang menjadi buah bibir banyak orang, bahkan mereka yang tadinya awam dengan dunia media sosial (medsos). Hal ini juga membuat para orang tua merasa was-was.

Ini juga membuat kita bertanya-tanya apakah para remaja ini sudah sedemikian terbuka di akun medsos mereka?

Faktanya memang kalau ditelusuri akun para remaja ini kebanyakan diisi dengan ungkapan emosi mereka mulai dari sedih, marah dan bahagia.

Bagi kita orang dewasa, mungkin merasa risih karena ada hal-hal yang sepatutnya orang lain tidak perlu tahu juga diunggah oleh para remaja di medsos.

Banyak literatur yang menuliskan masa remaja sebagai masa yang penuh gejolak emosi. Kata-kata seperti moody, galau atau labil sering digunakan untuk menggambarkan fenomena perkembangan emosi pada remaja.

Di masa peralihannya dari anak-anak menjadi dewasa, seseorang harus melewati masa remaja di mana terjadi perubahan selain fisik, juga emosi dan berpengaruh pada sosialisasinya.

Perubahan ini dipengaruhi munculnya hormon pertumbuhan yang bertugas menyiapkan fisik remaja untuk berubah saat dia memasuki masa pubertas.

Hormon ini tidak membawa perubahan fisik saja tapi juga berpengaruh secara emosi. Remaja jadi mudah berubah- ubah perasaannya. Sebentar kesal/bete, lalu tak lama kembali senyum-senyum sendiri. Mudah tersinggung oleh hal kecil yang bermakna baginyatapi belum tentu hal besar bagi orang di sekitarnya.

Selain faktor hormonal, perkembangan otak remaja juga turut andil dalam menempatkan remaja sebagai makhluk emosi.

Sampai usia 20 nanti, ada bagian otak remaja yang belum sempurna terbentuk. Bagian ini (prefrontal cortex) membantu seseorang melakukan proses berpikir yang lebih kompleks seperti proses pengambilan keputusan.

Selama bagian otak ini belum sempurna, remaja sangat rentan terpancing untuk mengambil keputusan berdasarkan emosi sehingga kurang mempertimbangkan konsekuensi baik buruk yang dapat ia terima dari keputusan atau tindakannya.

Di sisi lain, masa remaja adalah masa di mana individu sedang mencari posisi di tengah lingkungan sosial, membutuhkan rekognisi dan pemahaman dari lingkungan sekitarnya.

Dengan gejolak yang tengah mereka alami, seringkali tak mudah memahami dan menghadapi remaja, khususnya bagi orang tua.

Akibatnya usaha komunikasi sering mandek di tengah jalan dan orang tua menyerah sehingga anak mencari lingkungan lain yang lebih nyaman baginya.

Oleh karena merasa tidak diterima dan tidak dipahami, remaja menjadi rentan untuk 'terjebak' dalam lingkungan lain di mana mereka seolah dapat menemukan dengan mudah orang-orang yang dapat memahami dan mau menerima mereka serta bahkan mendukung apa yang mereka lakukan.

Lingkungan lain itu di era sekarang ini sangat dekat dijangkau anak, yaitu lewat gawai mereka.

Di era sekarang ini, teknologi komunikasi yang praktis dan canggih seperti gadget/gawai sudah menjadi bagian dalam kehidupan kita sehari-hari termasuk remaja.

Ke mana pun kita pergi, sudah tak asing melihat remaja begitu sangat lekat dengan gawai mereka masing.

Beberapa penelitian mengungkapkan rata-rata remaja di Asia maupun Amerika Serikat mengakses medsos lebih dari lima jam sehari mencakup untuk keperluan menonton sampai melakukan interaksi di dunia maya seperti mengakses medsos atau melakukanchatting (Santrock, 2010).

Lekatnya remaja dengan medsos ini sayangnya kurang diimbangi dengan pengetahuan dan kesadaran akan etika dalam berperilaku di dunia maya.

Banyak remaja yang masih belum menyadari bahaya atau risiko yang dapat menimpa mereka ketika mereka berkelana di dunia medsos.

Contohnya, banyak yang belum menyadari bahayanya memberikan data pribadi secara terbuka di medsos.

Remaja umumnya merasa medsos sebagai ruang lingkup pribadinya karena mereka masuk dari gawai milik mereka sendiri dan mengakses dari lingkungan pribadi mereka sendiri (dari kamar tidur mereka sendiri, misalnya). Akibatnya mereka merasa bebas mengunggah apa pun tanpa menyadari risikonya.

Nah, sekarang apa yang bisa dilakukan oleh orang tua untuk mengatasi fenomena ini?

Tak bosan-bosannya, kita kembali diingatkan pada pentingnya komunikasi langsung antara orang tua dan anak.

Mungkin terlihat 'kuno' tapi komunikasi secara langsung adalah satu tameng kuat untuk mejaga remaja ini dari penggunaan medsos yang menyimpang.

Orang tua perlu berusaha untuk terus menjadi teman bicara yang asyik bagi anak remaja mereka sehingga remaja tidak lari ke medsos untuk menceritakan keluh kesahnya.

Orang tua perlu menempatkan diri sebagai teman bicara yang lebih banyak mendengar dan berusaha memahami serta menempatkan segudang nasehat di ujung antrian paling belakang.

Buatlah anak nyaman bersama orang tuanya tanpa merasa sedang diinterogasi. Hal lain yang dapat dilakukan orang tua adalah duduk bersama anak untuk membicarakan etika bermedsos.

Diskusikan dengan anak sedari awal sekali sebelum anak-anak memiliki akun medsos sendiri jika perlu.

Orang tua juga dapat melakukan beberapa hal lain untuk melindungi anak seperti menggunakan satu alamat e-mail (e-mail orang tua) untuk akun medsos anak sehingga orang tua dapat memantau penggunaannya.

Orang tua pun dapat berteman dengan anak di medsos. Tapi jadilah teman yang 'cool' karena penting untuk menjaga reputasi anak di depan teman-temannya.

Hindari untuk memberikan komen atau teguran langsung pada anak via medsos, melainkan lakukan secara langsung lewat percakapan hangat dengan anak.

Orang tua dan anak juga perlu membuat kesepakatan aturan main yang penting untuk membatasi penggunaan medsos pada anak.


sumber : cnn indonesia
Posting Komentar

Posting Komentar